True leadership is not proven in calm waters, but in storms. And sometimes, the clearest visions are born in the darkest nights.
Saya tidak akan pernah melupakan masa-masa ketika perusahaan berada di titik nadir. Posisi keuangan sedang menantang, kepercayaan internal mulai terkikis, dan saya, sebagai pemimpin yang relatif baru, dihadapkan pada pertanyaan yang tak mudah: harus mulai dari mana?
Di tengah tekanan itulah saya belajar bahwa krisis bukan sekadar ujian strategi, tapi ujian keberanian.
Keberanian untuk membuat keputusan tidak populer. Keberanian untuk tetap berjalan walau arah belum terlihat jelas. Dan yang paling penting, keberanian untuk jujur kepada tim: bahwa kita tidak tahu segalanya, tapi kita punya niat yang benar dan komitmen yang utuh.
Saya mulai dari yang paling fundamental: kejelasan.
Kita tidak bisa meminta orang berlari jika mereka tidak tahu ke mana arah tujuannya. Maka hal pertama yang saya lakukan bukan membuat roadmap megah, tapi membuat komunikasi yang jujur, terbuka, dan sering. Saya ajak tim diskusi, saya dengarkan keresahan mereka, dan saya buka ruang untuk mereka ikut merancang jalan keluar. Di titik itu saya paham, clarity is kindness.
Dan salah satu keputusan paling sulit sekaligus paling menentukan dalam perjalanan saya sebagai pemimpin datang tepat di awal saya menjabat — September 2022.
Saya mengambil langkah pertama dengan melakukan cost efficiency.
Bukan karena saya tidak punya pilihan lain, tapi karena saya tahu biaya adalah satu-satunya variabel yang benar-benar bisa kita kendalikan saat itu.
Saya teringat dengan sharing dari Pak Pahala Mansury, yang pernah menyampaikan bahwa dalam situasi krisis, terkadang kita perlu melakukan kebijakan yang tidak populer — bahkan menyakitkan — seperti pemangkasan biaya, termasuk layoff. Saya menginternalisasi pelajaran itu. Dan ketika saya melihat kondisi aktual perusahaan, saya tahu bahwa saya tidak bisa menunda keputusan tersebut lebih lama lagi.
Saya memutuskan untuk melakukan efisiensi yang dalam — termasuk restrukturisasi tim, layoff, dan peninjauan ulang seluruh pengeluaran.
Keputusan ini tidak mudah. Tidak ada pemimpin yang ingin menjadi pembawa kabar buruk. Tapi saya juga percaya bahwa tanggung jawab terbesar seorang pemimpin adalah menyelamatkan kapal, bukan hanya menyenangkan penumpang.
Yang membuat keputusan ini makin kompleks adalah kenyataan bahwa beberapa orang yang terdampak adalah orang-orang yang telah bekerja cukup lama, bahkan loyal. Tapi pada saat itu, saya harus memegang prinsip: kita tidak akan bisa menyelamatkan semua orang jika organisasi ini sendiri tidak diselamatkan lebih dulu.
Saya juga memahami bahwa ini bukan sekadar inisiatif pribadi. Bahkan sebelum saya menjabat, pemegang saham sudah menyampaikan sinyal perlunya efisiensi — dan saya mengambil tanggung jawab itu sebagai langkah pertama saya membangun kepercayaan strategis ke pemangku kepentingan.
Saya sadar, langkah pertama saya sebagai CEO akan menjadi sinyal.
Dan saya ingin mengirimkan pesan bahwa kepemimpinan saya akan mengutamakan kejelasan, ketegasan, dan keberanian mengambil keputusan. Bahwa saya tidak akan lari dari hal-hal yang sulit — justru akan saya hadapi di awal, agar organisasi bisa memulai kembali dari fondasi yang lebih sehat.
Setelah langkah ini, barulah kami bisa mulai berbicara tentang masa depan, inovasi, transformasi digital, dan pertumbuhan. Karena tidak ada masa depan yang bisa dibangun di atas fondasi yang rapuh.
Di titik inilah saya teringat satu kutipan dari almarhum Nukman Luthfie, seorang tokoh yang saya kagumi:
"Peluang itu tidak datang sekali. Peluang itu kita cari dan kita kejar."
Krisis seringkali membuat kita merasa tidak punya pilihan. Tapi prinsip ini membalik cara pandang saya. Bahkan di saat kondisi terpuruk sekalipun, selalu ada peluang — asal kita bersedia keluar dari pola lama dan menjemput peluang baru dengan keberanian.
Saya pun mulai membuka jalur-jalur baru: menjajaki kolaborasi lintas sektor, mempercepat transformasi digital, membangun ekosistem bisnis baru dari nol, hingga mengubah pola pikir organisasi menjadi lebih customer-first dan data-driven. Saya percaya, dalam setiap kekacauan tersembunyi kemungkinan—but only if you’re willing to chase it.
Dan ada satu prinsip lagi yang menjadi jangkar pribadi saya dalam melewati badai ini:
kita bisa jadi apa pun.
Bukan sebagai bentuk arogansi, tapi sebagai keyakinan bahwa masa lalu tidak menentukan masa depan. Bahwa batasan yang kita lihat hari ini sering kali lahir dari persepsi, bukan dari realitas.
Saya tidak pernah membayangkan akan memimpin transformasi sebesar ini. Tapi saya juga tidak pernah berhenti percaya bahwa selama kita terus belajar, bertumbuh, dan bekerja dengan integritas — kita akan sampai di tempat yang bahkan belum bisa kita bayangkan hari ini.
Keyakinan itu saya sampaikan ke tim: bahwa kita tidak sedang menyelamatkan perusahaan saja. Kita sedang menciptakan versi terbaik dari diri kita masing-masing — sebagai profesional, sebagai tim, dan sebagai bagian dari bangsa yang lebih besar.
Krisis tidak membentuk karakter, ia mengungkapkannya.
Dan yang saya lihat dalam perjalanan ini adalah bahwa clarity, courage, dan belief bukan hanya fondasi strategi yang kuat — tapi juga fondasi kepemimpinan yang bermakna.
Post a Comment